Namun sayangnya, fundamentalisme lebih popular dimaknai dengan revivalisme. Yaitu menghidupkan kembali gaya hidup masyarakat Muslim masa lalu, terutama pada masa keemasan Islam abad 9-13. Kelompok fundamentalis, yang sering kali lebih dikenal dengan kelompok revivalis, konservatif, literalis, Islamis atau kelompok Muslim garis keras menginginkan untuk dapat menciptakan kembali masyarakat Muslim seperti di abad pertengahan, bukan hanya dengan penerapan syari`at Islam, melainkan juga ingin mendirikan negara Islam melalui aksi politik.

Mereka memahami bahwa Islam bukan hanya semata-mata agama, melainkan sebagai ideologi politik yang harus dapat membentuk kembali semua aspek kehidupan masyarakat baik secara politik, hukum, ekonomi, keadilan sosial, kebijakan luar negeri dan yang lainnya. Implikasinya, mereka menggunakan agama untuk tujuan politik mereka.

Salah satu karakteristik kelompok fundamentalis adalah mereka sangat anti Barat dan ideologi modern seperti nasionalisme, sekularisme dan komunisme. Dalam sejarah Indonesia, gerakan fundamentalisme atau gerakan untuk mendirikan negara Islam seperti di masa kejayaan Islam terekam misalnya dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pada masa Orde Baru, pemerintah Indonesia bersikap keras terhadap kelompok semacam ini dan bahkan mengatur agar semua organisasi masa atau partai politik berasaskan Pancasila.

Pasca Orde Baru, gerakan fundamentalisme di Indonesia tidak secara nyata ingin mendirikan negara Islam, namun lebih halus, yaitu dengan upaya untuk mengembalikan tujuh kata yang pernah dihilangkan dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”. Upaya ini di antaranya diusung oleh Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada tahun 2000, tetapi tidak berhasil karena kurang mendapat dukungan dari partai-partai lainnya seperti partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun semangat mereka nampaknya tidak surut. Perjuangan kelompok fundamentalis untuk memberlakukan syariat Islam dilanjutkan di tingkat daerah dengan memanfaatkan disentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu, segera setelah tahun 2000, beberapa daerah yang dahulunya merupakan basis pergerakan DI/TII yaitu Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi mulai mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang sering dikenal dengan Perda Syariat.

Pemberlakuan Perda Syariat ini berimplikasi negatif terhadap perempuan karena isinya merupakan hasil pemahaman secara literal dan patriarkhis terhadap Alquran yang cenderung membatasi gerak perempuan, baik dengan melarang perempuan keluar malam setelah jam 22.00 ataupun kewajiban berpakaian tertentu. Jika dilihat secara sepintas, peraturan-peraturan ini nampak baik atau Islami seperti melarang khalwat, prostitusi dan berjudi serta memberlakukan hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Namun jika diteliti lebih jauh, banyak implikasi negatif, terutama bagi perempuan. Korban nyata dari perda ini di antaranya adalah Ibu Lilis dari Tangerang, yang ditangkap oleh petugas saat pulang dari bekerja di malam hari karena dicurigai sebagai pekerja seks komersial. Akibat salah tangkap dan penahanan dirinya, Ibu Lilis kehilangan pekerjaan, dijauhi dan dicemoohkan tetangganya sehingga ia mengalami depresi dan akhirnya meninggal.

Mengapa Perda-perda syariat ini berimplikasi negatif terhadap perempuan? Bukankah syariat Islam itu baik? Ya, syariat Islam itu baik dan memiliki tujuan fundamental yang mulia seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Namun jika syariah (sumber ajaran Islam yang tercantum dalam Alquran) ini oleh kelompok fundamentalis difahami secara literal atau ditafsirkan dengan menggunakan lensa patriarkhi, maka bisa berimplikasi negatif terhadap perempuan. Penafsiran literal adalah cara menafsirkan berdasar apa yang tertulis dalam lafadz ayat-ayat Alquran tanpa melihat konteks diturunkannya ayat, sedangkan penafsiran dengan menggunakan lensa patriarkhi cenderung menempatkan posisi laki-laki selalu dalam posisi utama, tanpa melihat aspek lain misalnya kemampuan atau kontribusi ekonominya.

Berikut ini adalah contoh pemahaman atau penafsiran Alquran dengan menggunakan lensa patriarkhi, yang diungkapkan oleh mufassir besar yang cukup berpengaruh di kalangan masyarakat Muslim yaitu Ibn Kathir (w. 774 H) dalam kitab tafsirnya, Tafsir Alquran al-Karim:

يقول تعالى: { ٱلرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ } أي: الرجل قيم على المرأة، أي: هو رئيسها وكبيرها، والحاكم عليها ومؤدبها إذا اعوجت، { بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ } أي: لأن الرجال أفضل من النساء، والرجل خير من المرأة، ولهذا كانت النبوة مختصة بالرجال، وكذلك الملك الأعظم؛ لقوله صلى الله عليه وسلم” لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة ” رواه البخاري من حديث عبد الرحمن بن أبي بكرة عن أبيه، وكذا منصب القضاء، وغير ذلك، { وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ } أي: من المهور والنفقات والكلف التي أوجبها الله عليهم لهن في كتابه وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم فالرجل أفضل من المرأة في نفسه، وله الفضل عليها والإفضال، فناسب أن يكون قيماً عليها؛ كما قال الله تعالى:
{ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ }

Dari tafsir di atas dapat diketahui bahwa Ibn Kathir tidak membedakan antara yang bersifat kodrati pada diri laki-laki dan perempuan dan yang bersifat non-kodrati, yaitu sesuatu yang diusahakan. Ini dapat dipahami karena dalam konteks kehidupan Ibn Kathir yang patriarkhis, kebanyakan laki-laki mungkin seperti yang digambarkan dalam tafsir tersebut. Yaitu bahwa pada masa hidup Ibn Kathir, ”laki-laki adalah pengayom, pemimpin, hakim dan pendidik perempuan jika perempuan menyimpang.” Di balik pernyataan tersebut tersimpan asumsi bahwa laki-laki itu merupakan sosok yang selalu lebih sempurna dari perempuan yang secara ekonomi, fisik dan intelektual lebih rendah sehingga perlu diluruskan laki-laki. Ini nampak jelas dalam pernyataan beliau selanjutnya yaitu: ”karena laki-laki lebih unggul dari perempuan dan laki-laki lebih baik dari perempuan, oleh karena itu maka kenabian hanya dikhususkan untuk laki-laki saja…”

Dalam masyarakat patriarkhi, perempuan diposisikan lebih rendah dan hanya untuk memenuhi semua kepentingan the patriarch (laki-laki dewasa). Yaitu bahwa perempuan itu adalah pendamping, pendukung, istri yang mengabdi pada suaminya dan ibu yang mengurus anak-anaknya, tidak dipandang sebagai manusia seutuhnya, yang bisa berpendidikan dan berkarya, bahkan bisa lebih baik dari laki-laki dari segi pendidikan dan prestasi. Kelompok fundamentalis memandang bahwa laki-laki dan perempuan bersifat komplementer dengan membakukan peran bahwa laki-laki adalah pencari nafkah yang bekerja di luar rumah, sementara perempuan adalah ibu rumah tangga yang tugasnya hanya di dalam rumah. Ini berdasar pada penafsiran literal mereka terhadap Alquran Surat An-Nisa’ (4): 34 seperti yang ditafsirkan Ibn Kathir di atas. Oleh karenanya, kelompok fundamentalis cenderung ingin “merumahkan” perempuan dan menganggap aktivitas perempuan di luar rumah sebagai aktivitas yang melawan kodrat atau bahkan dianggap menyalahi aturan agama.

Keinginan kelompok fundamentalis untuk membatasi ruang gerak perempuan di luar rumah dapat terlihat dari isi perda-perda syariah yang mereka berlakukan. Implikasi negatifnya terhadap perempuan adalah ketika perempuan berada di luar rumah, terutama di malam hari dan tidak berpakaian seperti yang mereka inginkan, maka mereka rentan terhadap pelecehan seksual ataupun penangkapan karena dianggap melanggar aturan. Dengan adanya perda yang mengatur jam malam dan busana yang harus dikenakan perempuan, alih-alih menyalahkan pemerkosa, kesalahan seringkali ditumpahkan kepada perempuan, misalnya, “Salah sendiri, mengapa keluar di malam hari.” Atau “Salah sendiri mengapa mengenakan pakaian yang mengundang”. Padahal bagi sebagian perempuan, bekerja di malam hari seringkali bukan merupakan pilihan, melainkan keharusan yang diterapkan perusahaan tempat mereka bekerja seperti bagi para buruh pabrik, dokter atau perawat. Selain itu, para ulama memang sepakat tentang wajibnya menurup aurat, namun mereka berbeda pendapat tentang batas aurat yang harus ditutup. Formalisasi pelaksanaan syari`at dalam bentuk perda ujung-ujungnya merupakan “pemaksaan pemberlakuan” satu interpretasi di atas keberagaman interpretasi lain.

Baca Juga:

Tafsir Al-Quran 1: Fundamentalisme dan Implikasinya terhadap Perempuan

Tafsir Al-Quran 2: Pentingnya Tafsir Berperspektif Keadilan Gender

 

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here