Bagi sebagian orang, berbicara mairil adalah tabu. Betapa tidak, membicarakan mairil artinya membicarakan pondok pesantren. Sementara keduanya – pesantren dan mairil – adalah dua hal yang memiliki makna bertolak belakang, ash-haab al- syimaal dan ash-haab al-yamin kata orang. Pondok pesantren adalah lembaga agama yang serba adiluhung, yang setiap gerak langkahnya bersendikan ibadah, akhlaq, dan syari’ah. Sementara mairil adalah sebuah fenomena yang dinilai menyimpang, yang bagi banyak orang tidak saja terlarang tapi juga menjijikkan.  Oleh karenanya, membincangkan soal ‘mairil’ di pesantren akan dipandang sebagai hal yang mustahil, berita bohong,  dan mendiskreditkan pesantren.

Namun saya memiliki pengalaman yang mungkin baik untuk muqabalah (saling bertukar pikiran). Tahun 1995 Pondok Pesantren Lirboyo Kediri punya gawe besar mengumpulkan seluruh alumninya. Temanya pun terkesan begitu “gawat”: Reuni 1000 Kyai, wah! Tidak berlebihan memang. Sederetan ulama kondang hadir. Ada KH. Nur Muhammad Iskandar, KH. Mustofa Bisri, KH. Cholil Bisri, KH. Said Aqil Siradj, KH. Maimun Zubair, di samping para kyai Lirboyo sendiri yang selaku shahibul bait. Dimana-mana yang namanya reuni ya sama, kangen-kangenan, bernostalgia dengan dibumbui gojlok-gojlokan sambil mengenang masa lalu. Dan bagi santri, tema mairil adalah topik pembicaraan menarik yang menghidupkan suasana reuni. Bagi mereka, persoalan mairil bukan hal asing meskipun tidak pernah dibahas hingga ndakik-ndakik dalam forum-forum ilmiah.

Hal ini karena kompetensi pesantren tidak berada pada persoalan mairil itu. Pesantren tetap pada arus utamanya: ibadah, akhlaq, syari’ah. Sedangkan hal mairil bagi santri ibaratnya sebagai beberapa butir pasir dalam periuk penuh nasi.  Bila bagi para pegiat dan pemerhati seksualitas dan kesehatan reproduksi persoalan mairil menarik untuk dikaji melalui workshop, seminar, pelatihan, dan sebagainya. Namun kali ini saya hendak membahasnya tidak dengan pendekatan ilmu mengenai seksualitas an sich. Saya justru ingin mengajak pembaca untuk melihatnya dari sudut pandang  yang berbeda  secara lebih universal.

Mairil – Al Amrad  dan Hukumnya
Istilah mairil memang muncul dari pondok pesantren. Ia adalah perilaku “hubungan kasih sayang” yang terjadi antara sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan) di pondok pesantren.  Perilaku ini bisa berjalan dengan intensif dan sampai pada melakukan kontak seksual yang biasa disebut nyempet (ini berbeda dengan sodomi).

Namun ada juga kegiatan nyempet yang dilakukan tanpa proses mairil. Artinya yang ada adalah pelaku dan korban. Biasanya korban tidak menyadari hal itu karena dilakukan saat korban tidur. Dia hanya menemukan bekas “aktivitas” saat telah bangun.

Umumnya pelaku mairil dan nyempet tidak melakukannya secara permanen, karena mereka bukan gay atau lesbian. Aktivitas ini dilakukan lebih pada upaya memuaskan hasrat yang tidak terkendali dan pelepasan hormon yang tidak terbendung.  Saat keluar dari pesantren, selesai pulalah aktivitas itu.

Ditinjau dari sisi mana pun, aktivitas suka sesama jenis tidak dibenarkan. Tidak sedikit kitab kuning (kitab salafi) yang membahas hal ini. Sedangkan Alquran menyebutkan aktivitas ini sebagai perbuatan yang menjijikkan (fakhisyah) yang mengandung konsekuensi sangat berat.

Istilah “mairil” tentu tidak akan ditemukan dalam kitab kuning  yang menggunakan bahasa Arab,  mengingat  kata “mairil” tidak jelas diambil dari bahasa apa.  Ada pendapat bahwa  ia merupakan singkatan dari “mar-ah fil lail” (lelaki yang berubah menjadi perempuan jika malam hari). Namun definisi ini pun tidak dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan validitasnya.

Dalam kitab,  terdapat istilah yang merujuk ke makna “mairil”  yaitu kata “amrad”. Amrad didefinisikan sebagai ”seorang lelaki yang beranjak remaja dan belum tumbuh jenggotnya”, atau ”lelaki yang masih imut”. Di antara ulama salaf, Imam Syafi’i termasuk yang membahas soal ‘amrad’ ini. Menurut beliau, memandang wajah amrad hukumnya haram. Pendapat ini senada dengan ijma’ ulama  yang menyatakan hukum memandang amrad dengan syahwat adalah haram.

Memperkuat Imam Syafi’i, Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ menyebutkan bahwa jika memandang saja haram, maka berkhalwat dengan amrad lebih haram lagi karena hal itu lebih tidak pantas dilakukan. Lebih dari itu, resiko berkhalwat dengan amrad sangat besar.

Namun, karena manusia bukanlah malaikat yang tidak punya nafsu, maka mereka akan melakukan hal apa pun untuk membenarkan pendapatnya, termasuk para agamawan. Sehingga muncul argumen dari kaidah fikih semisal ’irtikabu akhaffi adh dhararain’ (memilih melakukan sesuatu yang memiliki konsekuensi bahaya lebih ringan). Artinya, persoalan semacam ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya menggunakan jargon agama,

Tawaran Robert K. Merton
Melihat realitas mairil itu, tampaknya akan sulit menyelesaikan persoalannya jika semata-mata hanya dilakukan melalui perspektif agama. Dalam kaitan ini, analisis Robert K. Merton, salah seorang penganut faham fungsionalisme struktural mungkin baik untuk menjadi rujukan.  Dia menawarkan fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi manifest adalah fungsi yang memang semestinya terjadi, dan memang itulah yang diharapkan. Sedangkan fungsi latent  adalah sebaliknya.

Contoh terdekat dengan teori itu di pesantren adalah; karena banyaknya santri dalam sebuah pesantren maka secara tanpa sadar kita (santri) telah mempelajari ghashab -perilaku meminjam tanpa izin-, suatu “pelajaran” (dan sungguh  bukan didikan formal pesantren) yang belum pernah didapatkan sebelum tinggal di pesantren. Demikian juga halnya dengan mairil. Ia adalah salah satu fungsi latent di pesantren. Pertemuan antarmanusia yang terjadi dengan intensif dalam kondisi homogen dan dalam waktu yang lama ternyata membawa dampak sosial yang tidak diinginkan.

Bayangkan, bagaimana rasanya jika seseorang berada di lingkungan yang sangat terbatas dan melakukan kegiatan yang cenderung monoton? Pondok pesantren berada pada situasi itu; bertemu dengan orang-orang yang sama hampir setap hari, tinggal pada wilayah yang terbatas, setiap hari mengaji, sekolah, berjamaah, sorogan, istighatsah dan lain sebagainya, rutin setiap hari! Maka orang-orang tertentu akan mengatasi kebutuhan biologisnya bukan dengan berpuasa sebagaimana perintah Nabi, melainkan dengan aktivitas mairil. Memang, kadar kemampuan manusia dalam menahan nafsu adalah berbeda.

Jika ditarik ke dalam teori Merton tadi – dengan demikian – hal yang sama juga terjadi di tempat-tempat lain yang sejenis pesantren. Artinya, praktik per-mairil-an (atau apa pun namanya) juga sangat mungkin terjadi di asrama-asrama mahasiswa, barak-barak militer, dan lembaga-lembaga lain yang menerapkan sistem boarding school. Wal hasil, ini bukanlah murni masalah pesantren saja. Akan tetapi ternyata ini adalah fungsi latent  di setiap lembaga yang dikelola dengan cara seperti pesantren tadi. Dan perilaku bisa ditularkan dengan sangat mudah, sebagaimana ghashab tadi.

Jika demikian adanya, pendekatan sosiologis justru lebih tepat untuk  memecahkan masalah mairil itu. Perlu kajian mendalam dan pemahaman bahwa mairil ternyata bukanlah “dosa” pesantren saja, mengingat setiap lembaga yang sejenis juga punya potensi persoalan yang sama. Wallahu a’lam.

__________

Muhyidin Depe, Khadim di Yayasan Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Krasak Tegalsari Banyuwangi Jawa Timur ( muhyidin_depe@yahoo.com)

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here