Bila beberapa bulan terakhir ini Mesir sempat menghangat karena demonstrasi besar-besaran terhadap pemerintahan Hosni Mubarak, tak ada salahnya kita mencoba menengok sisi lain dari Mesir. Selain terkenal dengan piramida, Sungai Nil, Bendungan Aswan, maupun Terusan Suez-nya, negeri ini juga dikenal dengan peradaban dan kekayaan khasanah intelektual maupun gerakan sosialnya. Dalam konteks gerakan perempuan kita  menemukan nama-nama besar seperti Qasim Amin, Huda Sya’rawi, Aisyah al Taymur, Nawal el Sadawi, dan Nabawiyah Musa.

Nabawiyah Musa, nama terakhir yang disebut di atas, mungkin belum terlalu dikenal sebagai ‘tokoh’ gerakan perempuan bagi mereka yang hidup di belahan bumi lainnya. Namun ternyata, kisah hidup, pemikiran, dan liku-liku perjuangan perempuan yang satu ini cukup menarik untuk ditelaah. Bila di Indonesia kita punya RA. Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah el Yunusiyah  yang berjuang untuk pendidikan perempuan; di Mesir perjuangan di ranah pendidikan inilah yang nampaknya dipilih oleh seorang Nabawiyah Musa.

Pelopor Pendidikan Perempuan dan Menolak Diskriminasi Pengupahan
Nabawiyah Musa adalah salah seorang perempuan yang menonjol dalam sejarah gerakan perempuan Islam di Mesir. Perempuan ini dilahirkan dari keluarga kelas menengah yang terdiri dari ibu dan kakaknya, karena ayahnya tewas  dalam sebuah peperangan militer sebelum masa kelahirannya. Gadis Mesir yang cerdas ini dilahirkan pada pada tanggal 17 Desember 1886, dan dia adalah perempuan Mesir pertama yang mendapatkan pendidikan tinggi pada tahun 1907 dan hingga 21 tahun kemudian; ia adalah satu-satunya  perempuan Mesir  yang memiliki gelar dalam bidang ini pendidikan ini.

Nama Nabawiyah Musa tercantum sebagai  seorang aktivis gerakan perempuan yang  berjasa dalam sejarah pendidikan di Mesir.  Terdapat banyak alasan  mengapa ia dapat dikatakan pelopor pendidikan perempuan di negeri yang terkenal dengan universitas Al Azhar-nya ini. Dia adalah perempuan yang sangat cerdas,  yang masuk ke sekolah dengan cita-cita untuk menjadi seorang guru. Sebuah ranah yang  pada masanya  sangat didominasi oleh kaum laki-laki. Selama hampir empat puluh tahun (1904-1946), pendidikan perempuan adalah yang menjadi perhatian utamanya. Berkat perjuangannya, kini perempuan mampu menempati jabatan-jabatan dalam berbagai bidang dan melewati semua jenjang  pendidikan.

Sebelumnya, perempuan Mesir yang bekerja di bidang pendidikan ini hanya diizinkan mengajar, sementara orang asing bekerja sebagai manajer dan supervisor. Kerja keras Nabawiyah terbayar dan dia menjadi kepala sekolah pertama, pengawas pertama, manajer pertama di Mesir. Ketika universitas swasta mulai beroperasi, Nabawiyah Musa bersama dua orang perempuan pelopor lainnya  yaitu Malak Hifni Nasif dan Labiba Hashem, diundang  untuk memberikan kuliah bagi  perempuan  dari  kelas sosial tinggi.

Setelah menjalani profesinya sebagai seorang guru, Nabawiyah menemukan perbedaan yang cukup mencolok dalam hal jumlah gaji yang diberikan  kepadanya dan para guru perempuan yang lain dengan rekan-rekan guru prianya. Ketika dia  mempertanyakan tentang masalah ini, dia mendapatkan jawaban bahwa para mahasiswa (laki-laki) telah lulus ujian sarjana muda, sementara para perempuan (mahasiswi) tidak pernah  mendapatkan kesempatan untuk mencoba mengikuti ujian tersebut.

Pada tahun 1907, Nabawiyah Musa lulus ujian sarjana muda  dan menempati peringkat 25 persen terbaik di kelasnya, sehingga ini menjadi sebuah alasan untuk memberlakukan upah yang sama untuk perempuan. Setelah kejadian yang mengejutkan ini, pemerintah Mesir tidak mengizinkan perempuan lain untuk mengambil ujian hingga tahun 1928. Nabawiyah Musa  adalah perempuan Mesir pertama yang ditunjuk sebagai kepala sekolah pada tahun 1916, kemudian dipromosikan menjadi pengawas sekolah, akhirnya dipecat setelah terjadinya insiden dengan tuduhan melakukan ’perbuatan yang tidak pantas’ (Badran, 38-39, 42-44).

Menolak Perkawinan Bila Menghambat Perjuangan
Kehidupan privat dan publik sangatlah dekat bagi seorang guru seperti Nabawiyah Musa. Kebijakan kementerian pendidikan di Mesir pada zamannya tidak mengizinkan seorang perempuan untuk mengajar sesudah dia menikah; artinya perempuan hanya memiliki kesempatan yang sangat terbatas sebelum dia meninggalkan profesi ini. Dan seorang Nabawiyah Musa sama sekali tidak berniat untuk berhenti dari pekerjaan yang dicintainya ataupun untuk menikah. Tidak seperti sahabatnya Huda Sya’rawi yang ogah-ogahan memasuki lembaga perkawinan, Nabawiyah melakukan penolakan secara jelas karena ketidaksetujuannya akan kebiasaan masyarakat. Pendidikan dan pekerjaannya tak dapat dipisahkan dari sikap penentangannya ini.

”Aku menolak (perkawinan)  untuk bisa meninggalkan rumah di usia tiga belas tahun  agar dapat terus sekolah.  Itu yang membuatku membenci perkawinan. Jika aku tidak bekerja, aku tidak bisa  mengambil keputusan untuk tetap tidak menikah. Aku tak dapat memiliki sumber daya yang memadai untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupku.”

Membuka Jendela Informasi
Nabawiyah Musa  telah memainkan peranan penting sebagai guru dan kepala sekolah perempuan di sekolah perempuan di negerinya. Di samping itu Nabawiyah juga menjadi editor pada kolom perempuan di mingguan Balagh al-Usbu’i pada tahun  1937 serta menerbitkan jurnal ilmiah yang bernama Majallat al Fatah (Majalah Kaum Perempuan). Dia juga menerbitkan buku tentang  pendidikan perempuan maupun kesempatan perempuan untuk bekerja. (Margot Badran, Feminist, Islam, and Nation, 1995).

Nabawiyah juga menulis sebuah buku yang sangat penting berjudul “Buah Kehidupan dalam Pendidikan Kaum Perempuan”  yang pada tahun 1908 kemudian diadopsi sebagai kurikulum Kementerian Pendidikan Mesir. Setahun sesudah itu, oleh Gubernur di Propinsi Al-Fayoum ia ditetapkan sebagai perempuan kepala sekolah di Sekolah Puteri Al-Mohammadia. Dalam waktu dua periode ia menjabat, jumlah muridnya pun meningkat pesat hingga dua kali lipat.  Prestasi-prestasi besarnya di Al- Fayoum, Al-Mansoura dan Cairo telah mengantarkannya  untuk benar-benar menjadi perintis bagi pendidikan  kaum perempuan.  Selain itu, dia juga anggota pendiri persatuan gerakan kaum perempuan Mesir dan penulis yang menerbitkan sebuah buku yang menjadi rujukan bagi gerakan kaum perempuan Mesir di tahun 1920 berjudul “Perempuan dan Kerja”.  Nabawiyah Musa, wafat pada tahun 1951.

Berbagai pemikirannya ternyata menginspirasi banyak perempuan untuk benar-benar menjadi Khalifah Tuhan yang setara di bumi-Nya. Hal penting patut diapresiasi  dari seorang Nabawiyah Musa adalah kepeduliannya pada sesama dan semangatnya untuk memajukan pendidikan kaumnya yang selama ini terpinggirkan. Bukankah Nabi telah bersabda bahwa ”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim, lelaki dan perempuan.” {} AD.Kusumaningtyas

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here