Isu pembebasan perempuan tidak hanya menjadi concern kaum perempuan. Dunia islam mencatat beberapa nama laki-laki yang cukup berpengaruh  dalam mensosialisasikannya.  Sebut saja nama Ghasim Amin di Mesir yang secara kontroversial melontarkan kritik tajam tentang posisi perempuan dalam tradisi agama. Dia bahkan berani mengidealkan ‘perempuan model barat’ di kalangan umat islam yang sangat konservatif waktu itu. Sayangnya, Ghasim terkesan sangat terkesima dengan barat dan menjadikannya model ideal untuk semua hal, termasuk  urusan perempuan. Untuk sikapnya ini, seoarng feminis perempuan asal Mesir, Laela Ahmad, lebih suka menyebut Amin sebagai agen barat di dunia Islam daripada seorang yang betul-betul peduli dengan persoalan perempuan.

Hal yang sama juga terjadi ketika, Kemal At-taturk  memerintahkan perempuan muslim membuka penutup kepalanya, di Turki. Dengan menggunakan isu modernisasi, ia juga menghilangkan  hijab yang membatasi laki-laki dan perempuan dalam dunia publik. Dampak dari peraturan-peraturan At-Taturk memang luar biasa. Dalam masa pemerintahannya yang singkat, At-taturk telah mengubah sebuah masyarakat yang sangat konservatif menjadi masyarakat ‘modern’ yang diidam-idamkannya. Lantas, apakah orang-orang ini  bisa digolongkan sebagai feminis? Orang bisa berbeda tafsir, dalam hal ini, tapi kehadiran laki-laki dalam mensosialisasikan ide pembebasan terhadap perempuan jelas bisa berpengaruh. Mereka bisa menjadi semacam ragi yang membuat beberapa hal menjadi lebih mudah. Dalam struktur masyarakat patriarkis, laki-laki berada di posisi atas. Mereka memiliki kekuasaan dan kemampuan. Kekuatan ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk memberi jalan pada isu pembebasan perempuan.

Di awal masuknya wacana gender ke Indonesia,  kita mengenal nama-nama Asghar Ali Engineer, juga Abdullah Ahmed An’aim. Cara pandang mereka tak kalah tajam dibanding pemikir-pemikir perempuan seperti  Fatima Mernissi, Aminah Wadud, Rifaat Hassan, dll.

Di Indonesia dikenal Masdar F. Mas’udi, Nasharuddin Umar, Hussein Muhammad dan beberapa nama lainnya yang kerap dikaitkan dengan wacana gender. Tulisan mereka sering menjadi referensi dan kita harus mengakui kontribusi mereka dalam membuka wacana dan melakukan tafsir kritis terhadap faham bias gender yang mengakar dalam tradisi keagamaan tradisional. Namun apakah karya-karya mereka telah sepenuhnya mencerminkan perspektif gender?

Sebagian besar pemikir muslim di Indonesia masih melihat isu gender sebagai sebuah studi. Sama halnya dengan studi antropolgi, filsafat, dst. Tidak heran Nasharuddin Umar, misalnya, lebih suka menyebut dirinya sebagai ahli tafsir, bukan ahli gender. Gender hanya menjadi salah satu  minatnya. Hal itu juga terjadi pada pemikir-pemikir muslim lainnya. Masdar saat ini lebih memilih concern pada fiqh siyasah, fiqh politik. Ketika Asghar Ali Engineer menulis tentang teologi pembebasan, nuansa gender kurang (atau  tak) terlihat di dalamnya.

Bandingkan dengan karya-karya pemikir perempuan seperti Fatima Mernissi. Bagi Mernissi, gender adalah sebuah paradigma. Ketika dia berbicara tentang demokrasi selalu akan diikuti soal gender. Persoalan demokrasi tak mungkin dilepaskan dari dari persoalan gender. Demikian pula saat ia bicara tentang politik islam, ia akan melihatnya dari sudut pandang gender.

Tidak mudah memang bagi laki-laki menjadi seorang feminis. Sistem yang membangun mereka adalah sistem patriarkis yang memberi peran-peran istimewa. Karenanya banyak yang mengatakan karya laki-laki tentang gender sangat artificial, tidak akan menyentuh persoalan-persoalan mendasar karena mereka tak mengalami penderitaan kaum perempuan. Karya-karya yang berperspektif gender tidak serta-merta menjadikan mereka feminis.

Budi Munawar Rahman yang banyak menulis tentang gender dan Islam juga mengakui sulit bagi laki-laki menjadi feminis. “Anda boleh melihat bagaimana ‘feminis’ laki-laki memperlakukan istri-istrinya di rumah. Bagaimana mereka memperlakukan rekan-rekan perempuan di tempat kerja, kata Budi menantang. Adakah laki-laki yang rela melepaskan hak-hak istimewa yang telah tertanam dalam dirinya? Laki-laki seharusnya melakukan ‘class suicide’ (bunuh diri kelas) dulu untuk bisa menjadi feminis !”

Mungkin itu lontaran yang ekstrem. Dalam sistem yang sudah mengakar, laki-laki tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Patriarkisme sudah menjadi identik dengan agama dan budaya selama berabad-abad. Mungkin mereka juga termasuk korban yang kebetulan ternikmatkan dalam sistem tersebut. Kalau mereka berusaha menjadi feminis, kenapa tidak? Sebab kalau hanya perempuan yang mengusung isu gender, orang hanya menganggapnya sebagai isu khas perempuan. Padahal, secara sosiologis, isu gender merupakan persoalan kesetaraan yang muncul dalam kehidupan laki-laki dan perempuan. Untuk menjadikannya isu bersama, haruslah semakin banyak laki-laki yang terlibat. Seperti kata Syafiq Hassim (tim RAHIMA yang sedang mengambil studi islamologi di Belanda), “Paling tidak  laki-laki bisa belajar……” (Nef)

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here