Oleh: Leli Nurohmah

Jauh sebelum Raden Ajeng Kartini lahir di Indonesia, di Bengal dataran India dimana kolonialisme juga tengah meraja, lahir seorang perempuan yang serupa Kartini, Faizunnesa Choudhurani. Faizunnesa (1834–1903, belakangan dikenal sebagai Nawab Faizunnesa) seorang perempuan Muslim pemberani yang mendobrak norma yang berlaku saat itu melalui aktifitas sosial dan karya sastranya.

Zamindar dari  Comilla

Dilahirkan di Comilla di tempat yang sekarang dikenal sebagai Bangladesh, Faizunnesa adalah seorang zamindar (tuan tanah) dari perkebunan Homnabad-Pashchimgaon di Perkebunan Comilla, Bangladesh. Ayahnya Ahmed Ali Chowdhury yang juga dikenal sebagai Shahzada Mirza Aurangazeb, Nawab Khan Bahadur, adalah keturunan Kaisar Mughal dan zamindar real Homnabad-Pashchimgaon. Faizunnessa yang dibesarkan di sebuah keluarga Muslim yang konservatif, dimana para perempuan akan mempertahankan sistem purdah yang ketat tidak menerima pendidikan formal. Akan tetapi dia mendidik dirinya sendiri di perpustakaannya selama waktu luang sehingga mahir berbahasa Arab, Persia, Sanskerta dan Bengali.

Faizunnesa dikenal karena kampanyenya untuk pendidikan perempuan dan masalah sosial. Setelah kematian ibunya pada 1883, Faizunnesa mewarisi propertinya dan menjadi zamindar Pashchimgaon. Dia menjadi semakin terlibat dalam pekerjaan sosial setelah menjadi zamindar. Pada 1873, Faizunnesa Choudhurani mendirikan secara pribadi sekolah menengah pertama untuk anak perempuan di Comilla  salah satu anak benua India. Kini sekolah itu dikenal dengan Sekolah Nawab Faizunnesa Government Girls.

Atas jasanya ini, pada 1889 Ratu Victoria memberinya penghargaan dan memberinya gelar “Nawab”, serta menjadikannya sebagai perempuan pertama yang mendapatkan gelar Nawab di Asia Selatan. Gelar ini biasa diberikan kepada tuan tanah laki-laki, sebuah gelar yang tidak hanya menantang penguasa laki-laki kolonial Bengal, tetapi juga menunjukkan kekuatannya untuk mendapat hak yang sama sebagai subjek yang membayar pajak. Faizunnesa juga memainkan perannya dalam kekuasaan dan menuntut untuk diakui dan diperlakukan sebagaimana para zamindar laki-laki. Dia menentang posisi sebagai objek dan membawa dirinya ke dalam lokus kekuasaan.

Terperangkap dan Mengkritisi  Pernikahan Poligami

Karya pendidikan dan sastra Faizunnesa ditulis pada era pasca-1857, saat umat Islam di India mulai bergerak melawan penjajahan kolonial. Dia menikah dengan zamindar yang juga sepupu jauhnya  bernama Muhammad Gazi, pada 1860 sebagai istri keduanya. Namun ia memutuskan berpisah karena sang suami melanggar perjanjian pra nikah yang mereka sepakati yakni untuk tidak membuatnya hidup satu atap bersama istri poligaminya. Meski berpisah, kecintaanyang ia dedikasikan pada sang suami menginspirsinya menghasilkan karya sastra yang luar biasa RupJalal.

RupJalal adalah kisah tentang Pangeran Jalal yang menikahi dua orang putri bernama Rupbanu dan Hurbanu. Tulisan yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Fayeza S. Hasanat ini telah menghidupkan kembali sejarah perempuan Bangladesh dan menjadikannya referensi penting tentang peran perempuan abad itu. RupJalal telah menantang gagasan yang mapan tentang posisi perempuan dalam masyarakat Muslim di Bengal dan menjadikannya sebagai teks sastra pertama yang ditulis oleh seorang perempuan Muslim Bengali. Hasanat menjelaskan bahwa upaya Faizunnesa dalam RupJalal bisa diartikan sebagai usahanya untuk menyajikan narasi kontra maskulinitas pada masa kolonial Bengal dan kuatnya pengaruh Islam pada masanya.

Meskipun tidak melakukan counter langsung mengenai hal ini, melalui teks-teks yang ditulisnya Faizunnesa menunjukkan kekhawatirannya tentang isu-isu rumit seperti dominasi maskulinitas  dalam masyarakatnya. Teks ini jelas merupakan kritik maskulinitas karena ceritanya berputar pada situasi berbahaya dan aksi berani seorang pahlawan. Uniknya, narasi ini berasal dari seorang perempuan yang memiliki gaya hidup yang luar biasa kontradiktif dengan kisah yang ditulisnya. Faizunnesa mengklaim telah dipengaruhi oleh kehidupannya sendiri untuk menulis kisah RupJalal, yang mengundang para pembaca untuk mengharapkan kisah perempuan -dari sudut pandang seorang perempuan-.

Rupjalal merefleksikan hadirnya ‘suara perempuan yang sadar akan dirinya’ kemudian bereaksi dan beradaptasi dengan situasi yang ada saat itu. Dalam hal seksualitas, perempuan Muslim bernegosiasi dengan budaya, agama dan kolonialisme yang berkuasa di Bengal. Melalui petualangan heroik Pangeran Jalal dalam relasi seksual dan pernikahannya dengan dua perempuan. Hasanat membaca Rupjalal “sebagai manifesto pembangkangan dan subordinasi seksual perempuan Muslim di Bengali pada abad ke-19. Namun, teks ini juga dapat dibaca sebagai narasi counter terhadap wacana orientalisme sastra Barat abad ke-19 yang cenderung mengebiri laki-laki Muslim dan perempuan Muslim yang digambarkan sebagai sosok penawar seksualitas para superhero Kristen Barat kala itu. Bertentangan dengan citra lelaki muslim yang dikebiri, Faizunnesa melukiskan Jalal sebagai seorang pahlawan Muslim yang gagah dan penuh keberanian memiliki tubuh ‘atletis dan kuat’ dalam tulisannya : “Tumbuh sangat tampan di usia enam belas tahun;  ke mana pun dia pergi, perempuan berbondong-bondong ingin berada di sekitarnya; Kejantanannya  mengubah ibu rumah tangga yang lemah lembut menjadi penggoda; Dan masing-masing perempuan ini ingin menjadi orang yang dicintai oleh lelaki tampan ini!” Berbeda dengan  representasi laki-laki muslim yang oleh orientalis tsebagai sosok  dicitrakan pasif, di Rupjalal Pangeran Jalal ditampilkan sebagai pahlawan Muslim yang berada di pusat impian para perempuan Muslim.

Faizunnesa juga menggambarkan dua sosok perempuan yang sangat berbeda dalam mengekpresikan seksualitasnya. Sesuatu yang sangat tabu dalam tradisi Islam di umbar oleh seorang perempuan Muslim. Hurbanu digambarkan sebagai sosok perempuan penerima poligami sang Jalal, dan ia tetap menjadi tubuh yang diam dan menjadi teladan bagi patriarkhi Islam, citra seorang istri yang taat. Sementara madunya, Rupbanu adalah perwujudan seksualitas yang berbeda. Bahkan sejak pertama kali dia bertemu Jalal, Rup digambarkan sudah tertarik secara seksual, dan dia tidak malu mengekpresikan ketertarikan seksualnya terhadap orang asing. Ketika Jalal memulai perjalanannya, Rup tinggal dalam siksaan fisikal. Dia mengungkapkan rasa lapar fisik dan emosionalnya untuk kekasihnya, dan setelah kembali, dia tidak ragu-ragu untuk menanggapi keinginan duniawi Jalal. Lihat penggalan kalimatnya berikut: “Aku milikmu sepenuhnya, lakukan apa yang kamu suka,” Dia berkata pada kekasihnya: “Dua orang pecinta lapar menggenggam . Saling putus asa. Tubuh mereka dibakar.Mereka dibakar dengan keinginan. Mereka ingin terbakar dalam api asmara ”

Faizunnesa mengungkapkan kritik tajam atas kehidupan poligami yang memaksa seorang perempuan harus hidup bersama dengan madunya. Menurutnya, ini melanggar perjanjian perkawinan yang dibuat menyakiti perasaan perempuan. Ia menggunakan kata-kata kasar dalam menggambarkan praktik poligami dan melihatnya sebagai sebuah perangkap dan kekejaman yang harus diterimanya bukan sebagai individu namun sebagai tragedi sosial yang dialami perempuan karena sifat laki-laki yang berubah-ubah. “Bukan kamu; itulah sifat alami laki-laki. Ketika dia telah memiliki seorang perempuan, dia menginginkan yang lain. Dia memujanya sampai dia mendapatkannya, Lalu dia menikmati gairah mudanya, hingga hasratnya menghilang.

Teks-teks dalam Rupjalal juga sangat menentang stereotip gender terhadap perempuan dan tidak mengenalisir semua perempuan sama, ia juga mengingatkan perempuan agar tidak terjebak pada rayuan laki-laki yang hanya akan mengobjektifitas tubuh perempuan. “Jangan menyalahkan kita semua untuk nafsu yang telah Anda lihat sebagian.Mereka yang memiliki nafsu untuk laki-laki. Secara sah dinyatakan sebagai yang jatuh. Kita semua memiliki hati yang kuat seperti batu mulia. Laki-laki ganas itu berusaha merusak atau mencuri, Ketika mereka mencoba untuk memikat kita menuju jalan dosa. Dia tidak berhenti sampai dia bisa menang. Cintanya dengan kebohongan dan kepura-puraan. Dia meninggalkannya di belakang dan pergi jauh.Mencari satu demi satu. Perempuan, waspadai laki-laki yang anya mencari kebahagiaan jasmani di dalam dirimu.”

Faizunnesa  dalam berbagai kalimat yang dituliskannya tidak hanya menegaskan kritik atas situasi perempuan yang terbelenggu atas nama agama, budaya kekuasaan dan patriarkhi . Namun ia juga menyuarakan perlawanan atas berbagai ketidakadilan dengan membuat tubuh perempuan ada dan terlihat. (Wallahu ’A lam bish-shawab)

 

Sumber Referensi:

  1. Fayeza Hasanat, The Burdens of Translation: Nawab Faizunnesa’s Rupjalal dalam https://www.thedailystar.net/book-reviews/the-burdens-translation-nawab-faizunnesas-rupjalal-1424842 10/16/2018 1:49 PM
  2. Fayeza Hasanat, Recasting Muslim Women: A Translation Of Nawab Faizunnesa’s Rupjalal, With Commentary, A Dissertation Presented To The Graduate School Of The University Of Florida In Partial Fulfillment Of The Requirements For The Degree Of Doctor Of Philosophy, University Of Florida, 2005
  3. Mahmudul Hasan (University of Dhaka Bangladesh), The Muslim Workd Book Review 30:2, 2010: Nawab Faizunnesa’s Rupjalal by Fayeza Hasanat (Trans) Leiden Ej Brill. 2009. Published by The Islamic Foundation.
  4. Mahmudul Hasan, Rapjalal. Banglapedia: National Encyclopedia of Bangladesh. http://en.banglapedia.org/index.php?title=Rupjalal 10/16/2018 2:04 PM

 

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here