Oleh : Abdurrohman, S.Ag. MA.* 

Problematika kehidupan manusia selalu ada di setiap situasi dan kondisi yang dihadapinya, tak terkecuali relasi suami istri dalam kehidupan perkawinan. Awal seseorang berkehendak untuk membangun rumah tangga, ternyata tidak semuanya dalam kondisi siap lahir maupun batin, termasuk kesiapan untuk bisa menerima perbedaan yang bakal mereka hadapi. Yang di awal semua terlihat indah -atau mungkin karena penuh dengan kamuflase untuk bisa meyakinkan calon pasangan-, lambat laun mungkin berubah.

Tak jarang komitmen pasangan itu berakhir dengan diterimanya Salinan Putusan Pengadilan  tentang putusnya perkawinan akibat perceraian. Tak hanya satu atau dua pasangan, namun puluhan bahkan ratusan pasangan nasib perkawinannya kandas di pengadilan. Gejala apa ini? Apa yang menjadi penyebab hingga perceraian itu terjadi?

Bila dilihat dari berkas putusan, di antara sebabnya adalah; suami yang tidak bertanggung jawab, perselisihan terus menerus, masalah ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga (baik verbal maupun fisik). Sebagai garda depan penjaga perkawinan di negeri ini, kami di KUA seringkali dihadapkan dengan beragam pengaduan masyarakat terkait perkawinan sebagai berikut : suami yang tidak mau menafkahi anak dan istrinya, meskipun sebetulnya dia punya penghasilan; suami yang menikah lagi tanpa sepengetahuan istri dengan cara memalsukan surat keterangan identitas, masih adanya pernikahan di bawah umur yang di antaranya terjadi karena semakin masifnya pergaulan bebas, peran orang tua yang semakin longgar, kecanggihan teknologi yang tidak dibarengi kesiapan mental penggunanya. Dari beragam temuan kami di lapangan, lebih banyak korbannya adalah kaum perempuan.

Untuk mengatasi beragam persoalan ini, kami di KUA Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progro mengembangkan beberapa program untuk membangun relasi yang setara dan adil gender. Di antara program kami untuk menjaga keutuhan rumah tangga dengan asas keadilan adalah ‘Gerbang Sakinah’. Bagi pasangan calon pengantin yang datang ke KUA untuk mendaftarkan kehendak nikahnya, kami melakukan penguatan kesadaran dan pengayaan informasi untuk mendorong tanggung jawab bersama dalam keluarga. Dalam melaksanakan program ini kami bekerja dengan berbagai unsur terkait seperti Penyuluh Agama, Puskesmas, dan Penyuluh Keluarga Berencana (KB).

Langkah-langkah yang kami lakukan melalui kerjasama ini antara lain: 1) Diawali saat pendaftaran nikah, kami minta semua pasangan calon pengantin untuk hadir. Kerjasama dengan PLKB   memberikan pemahaman mengenai KB yang adil gender, dengan harapan jangan sampai hanya perempuan yang diminta menyiapkan diri untuk memakai kontrasepsi namun yang laki-laki pun demikian. 2) Melalui kerjasama dengan Puskesmas, kami juga meminta pasangan calon pengantin untuk datang memeriksakan kondisi kesehatan mereka bersama sehingga  yang sehat bukan hanya istri tetapi juga suami. Saat melahirkan tiba tidak sekedar istri yang merasa kesakitan, tetapi bagaimana suami selalu siaga dan mendampingi untuk memberikan semangat dan penguatan. 3) Melalui kerjasama dengan Penyuluh Agama (Islam) pada saat pendaftaran, kami juga meminta agar calon pasangan pengantin diberikan pemahaman tentang perlunya melaksanakan kewajiban agama, bukan hanya calon istri tapi juga calon suami, bahkan kami tekankan bahwa surga bisa dicapai kalau pasangan itu bisa saling menguatkan, dengan tidak saling menyalahkan dan mengalahkan satu sama lain. 4) Pada saat dilangsungkannya pernikahan atau dalam rangkaian akad nikah, kami mendorong agar pasangan pengantin ini agar mereka punya kesalingan yang positif. Saling memberi, saling menerima, saling mencintai, saling menyayangi, dan saling-saling positif lainnya. 5) Pasca pernikahan (setelah dilangsungkannya ijab qabul) kami bekerja sama dengan para Kaum Rois Pedukuhan, Kasi Kesra Desa, tokoh masyarakat dan agama untuk memberikan penguatan, agar rumah tangga pasangan yang baru itu selalu terjaga.

Kerjasama dengan berbagai pihak lain juga kami lakukan misalnya dengan Kejaksaan  ataupun Pengadilan Agama untuk menghindarkan madharat perkawinan, misalnya meminta Pengadilan Agama untuk melakukan pembatalan nikah (fasakh) untuk perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan. Tentu saja tanpa mengorbankan prinsip pada perlindungan korban dan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak.{}

*penulis adalah Kepala KUA Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progro, peserta pelibatan tokoh agama dalam mencegah kekerasan berbasis gender, prevention+

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here