Oleh: AD Eridani

 

Tulisan yang tertera pada tembok luar kediaman Pimpinan Pondok Pesantren (PP) Aqidah Usymuni itu sangat menarik perhatian saya. Halaman rumah memang tidak terlalu luas tetapi dihiasi beraneka tanaman. Terus terang, ini unik bagi saya. Betapa tidak, dari beberapa pondok pesantren yang saya kunjungi, tak pernah saya menemukan tulisan semacam itu. Ada apa sebenarnya dengan pesantren ini? Apakah ada banyak keunikan lain yang akan saya temukan di dalamnya?

Aqidah Usymuni terletak membujur pada jalan Zaenal Arifin No. 1 – 9, di Desa Pandian, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Madura. Pesantren ini didirikan pada 7 Juni 1985 oleh pasangan suami istri KH Abu Shofyan (Kyai Shofyan) dan Nyai Hj. Aqidah Usymuni (Nyai Aqidah). Berdirinya pesantren dilatarbelakangi oleh rasa keprihatinan yang mendalam dari pasangan suami istri ini atas kondisi masyarakat miskin Madura yang kurang memberikan akses pendidikan untuk putra-putrinya akibat mahalnya biaya pendidikan. Keprihatinan semakin bertambah manakala budaya lokal turut melanggengkan terpinggirkannya anak perempuan dalam memperoleh pendidikan. Alasan yang biasa disampaikan, anak perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi karena setelah menikah wilayah perempuan hanya di seputar dapur, sumur dan kasur. Dengan kata lain, harkat dan martabat perempuan Madura (baca: istri) adalah mengikuti suaminya.

Pesantren ini (kemudian) diberi nama Aqidah Usymuni, mengambil nama dari Nyai Aqidah. Pilihan nama tersebut sangatlah tidak biasa dan bukan tanpa alasan. Kyai Shofyan dan Nyai Aqidah ingin memotivasi agar kaum perempuan dapat berperan aktif di dalam masyarakat.

Pada 1986, pesantren ini diresmikan menjadi sebuah lembaga yang berbadan hukum dengan nama Yayasan Aqidah Usymuni. Tujuan pendirian yayasan ini antara lain melaksanakan ajaran agama sesuai dengan tuntutan Alquran dan sunnah Nabi Muhammad saw.; membentuk generasi yang beriman, bertakwa serta mempunyai jiwa pengabdian terhadap agama, bangsa dan negara; membuka akses pendidikan bagi putra-putri yang berasal dari keluarga tidak mampu dan anak yatim khususnya anak perempuan dengan cara memberikan beasiswa pendidikan, baik untuk jenjang pendidikan non formal maupun formal dari tingkat MI (Madrasah Ibtidaiyah) sampai tingkat Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Aqidah Usymuni (STITA).

Adapun visi pesantren Aqidah Usymuni adalah mencetak santri yang beriman, bertakwa, berakhlak, berilmu, beramal dan siap mengabdi pada masyarakat. Untuk mencapai visi tersebut, pesantren lalu memadukan konsep pendidikan salaf dan pendidikan formal.

Materi pendidikan formal yang disampaikan kepada santri merujuk pada kurikulum Departemen Agama RI. Sementara materi pendidikan non formal seperti kajian Ilmu Tauhid, Fiqh, Ilmu Akhlak/Tashawwuf, Ilmu Nahwu/Sharaf dan Balaghah, Ilmu Hadis, dan Tahsin (Tajwid) Alquran diberikan baik kepada santri putra maupun santri putri dalam kelas yang berbeda pada waktu-waktu setelah shalat wajib berjamaah di masjid (bagi 300 santri putra) dan mushola (bagi 200 santri putri).

Sejak awal didirikan, pesantren ini diasuh oleh pasangan suami istri, Kyai Shofyan dan Nyai Aqidah. Setelah Kyai Shofyan wafat, kepemimpinan pesantren tetap dipegang Nyai Aqidah dibantu oleh putra-putrinya yaitu Drs. KH. Ach. Shafraji, M.Pd.I (Kyai Shafraji) dan Nyai Hj. Dewi Khalifah, SH (Nyai Eva).

***

Peran sebagai media transformasi sosial dan budaya bagi masyarakat dilakukan oleh pesantren Aqidah Usymuni melalui berbagai kegiatan. Pertama, menyediakan pelayanan Pusat Krisis Perempuan (WCC) Puan Amal Hayati (biasa disingkat dengan sebutan Puan). Menurut Nyai Aqidah, selaku Ketua Puan, sejak berdiri tahun 2000, Puan telah menangani 72 kasus. Sebagian besar berupa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terutama akibat praktik poligami yang marak terjadi di Madura. Dari data yang dimiliki Puan, bentuk KDRT berupa kekerasan fisik, ekonomi bahkan psikis, paling sering dialami oleh istri pertama. Untuk itu, Puan menyediakan pelayanan berupa pendampingan dan konseling yang dilakukan kepada kedua belah pihak, korban maupun pelaku.

Untuk kedua pelayanan tersebut Nyai Aqidah dan Nyai Eva turun tangan secara langsung. Lima puluh persen dari kasus yang masuk biasanya berakhir bahagia setelah dilakukan konseling dengan menggunakan pendekatan agama yang berpihak kepada korban. Sementara beberapa kasus lain sempat dibawa sampai ke tingkat pengadilan untuk diselesaikan. Untuk sampai ke sana, Puan juga bekerjasama dengan berbagai pihak seperti RPK (Ruang Pelayanan Khusus) di kepolisian dan PKT (Pusat Krisis Terpadu) di rumah sakit setempat.

Kedua, pelayanan dalam bentuk pemberdayaan ekonomi terutama bagi perempuan korban kekerasan, berupa pelatihan menjahit bordir dan penyediaan peralatan katering. Untuk menampung hasil bordir, Puan bahkan menyediakan salah satu ruangannya untuk dijadikan ruang pajang pakaian muslimah bordiran yang dijual untuk umum. Sementara peralatan katering diperuntukkan bagi korban yang ingin menyalurkan bakat memasaknya dan diakomodir dalam bentuk jasa katering. Menurut Nyai Eva, untuk membuka lapangan kerja baru bagi perempuan, tak lama lagi Puan akan membentuk kelompok-kelompok ekonomi produktif perempuan dengan memanfaatkan potensi alam yang ada.

Ketiga, dalam bentuk khitanan massal, santunan kepada anak yatim, sahur dan buka puasa keliling, bakti sosial, bantuan untuk korban bencana alam dan pengajian. Khusus untuk pengajian, masing-masing tokoh kunci dari pesantren ini mempunyai jadwal rutin yakni mingguan dan bulanan. Nyai Eva dan Kyai Shafraji bahkan mempunyai pengajian yang dilakukan setiap 3 bulan dan 6 bulan sekali. Rentang waktu pengajian tersebut agak lama karena dilaksanakan di wilayah kepulauan seperti Kangean, Sepudi, Raas dan Sapeken yang untuk mencapainya, pasangan suami istri itu harus menempuh perjalanan laut selama 6 – 15 jam.

Meski sibuk dengan urusan pesantren dan umat, trio dari pesantren Aqidah Usymuni ini tetap berkomitmen mengambil peran dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi. Nyai Aqidah, misalnya, yang mempunyai ilmu linuwih sejak lahir, membantu umat yang datang dari berbagai pelosok Indonesia melalui doa-doa khususnya. Kyai Shafraji melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sumenep dan Nyai Eva melalui Pimpinan Cabang (PC) Muslimat NU Sumenep dan melalui Komisi D, DPRD Kabupaten Sumenep. Dengan berbagai aktifitas tersebut, ketiga tokoh ini menyampaikan pesan-pesan kesetaraan. Melalui berbagai media itu pula, tekad agar anak perempuan dan perempuan harus diberi kesempatan yang sama dengan anak laki-laki dan kaum laki-laki dalam memperoleh pendidikan diwujudkan. Karena bagi ketiga tokoh ini, kaum perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam membangun bangsa.

Kembali kepada judul di atas, ternyata, makna yang terkandung dari tulisan tersebut tidak hanya ada pada yang tersurat. Makna tersiratnya adalah bahwa pesantren Aqidah Usymuni akan menjaga bunga pesantren (Madura: binderi, santri putri) dan daun pesantren (bindere: santri putra) yang dititipkan oleh orangtua mereka agar tidak menikah dini. [ ]

Secara keseluruhan, lembaga yang dikelola beserta jumlah santrinya terlihat pada tabel berikut :

NO

Lembaga Pendidikan

Jenis Kelamin

Jumlah

Ket.

L P
1 Madrasah Diniyah 156 117 273 Non Formal
2 Play Group PAUD 75 45 120 Formal
3 Sekolah Dasar Islam ( SDI ) 15 12 27 Formal
4 Madrasah Tsanawiyah 86 75 161 Formal
5 Madrasah Aliyah 70 42 112 Formal
6 STIT Aqidah Usymuni (STITA) 198 89 287 Formal
  Jumlah 600 380 980  

 

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here