Judul Buku: Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan

Penerbit: RAHIMA bekerjasama dengan LKiS dan Ford Foundation

Tahun Terbit: Maret 2002

Tebal halaman: xxii + 224 Hal

Penulis: Abd. Moqsith Ghozali, Badriyah Fayumi, Marzuki Wahid, dan Syafiq Hasyim (ed. Amirudin Arani)

 

Beberapa pemikir membedakan fikih Islam (al-fiqh al-islâmî) pemikiran Islam (al-fikr al-islâmî). Fikih dianggap memiliki dasar dari teks agama (al-nushûsh asy-syari’yyah), sementara pemikiran Islam muncul dari ragam rujukan yang tidak selalu teks-teks agama. Pemikiran Islam dianggap hanya merupakan kumpulan dari opini, analisis, kajian dan upaya-upaya pendekatan terhadap persoalan-persoalan Islam, tanpa keterikatan untuk merujuk kepada teks-teks Islam. Sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap nash (teks al-Qur’an dan Hadits). Pada kenyataan selanjutnya, fikih dipraktikkan dalam tataran realitas. Sehingga ia seolah-olah “didaulat” berada di atas realitas bahkan “datang” untuk meluruskan realitas-realitas. Dengan cara pandang demikian, akhirnya fikih sering diklaim sebagai hukum dan sekaligus sumber kebenaran Islam dalam kaitannya dengan perbuatan-perbuatan manusia. Padahal fikih seharusnya dipandang sebagai hasil dari proses dialog antara nash (teks suci) dan realitas, bukan sebagai produk hukum (baca: Syari’at Islam) yang final dan mutlak.

Perspektif itulah agaknya yang mendasari buku ‘Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan’ yang ditulis oleh para ulama muda ini.  Ada kecenderungan kuat  dari para penulis buku ini untuk melakukan dialog antara fikih dan realitas. Kehadiran buku ini tentu tepat dan menarik dalam momentum seperti sekarang ini. Tepat, karena buku ini hadir di tengah kering dan kakunya perspektif fikih yang selama ini ada. Menarik, karena para penulis buku ini mencoba melakukan pemotretan yang sangat tajam terhadap pergumulan fikih klasik dengan realitas-realitas yang ada. Dengan meletakkan fikih dan realitas dalam ‘meja dialog’, maka kajian dalam buku ini dapat dijadikan model baru dalam perkembangan wacana-wacana fikih kontemporer. Buku ini juga mencoba menawarkan fikih berparadigma keadilan gender yang mengukuhkan kajian fikih “perspektif” perempuan diantara kajian-kajian fikih kontemporer yang ada.

Tidak semua problem fikih diangkat dalam buku ini. Topik yang banyak dibahas adalah seputar persoalan seksualitas perempuan. Walaupun istilah seksualitas dapat dipahami secara luas, namun pengertian seksualitas yang dimaksud di sini tidak dipandang dari sisi hal-hal teknis seksualitas saja. Lewat problem seksualitas, para penulis hendak mengarahkan pembaca kepada persoalan otonomi tubuh dan hak perempuan. Kategori seksualitas diusung karena pada kenyataannya problem seksualitas, baik yang operasional maupun wacana, akan sangat terkait dengan “penghargaan” perempuan. Terlebih sejarah seksualitas dapat dikatakan sama tuanya dengan sejarah manusia. Hal tersebut dapat disimpulkan dari sejarah keagamaan tentang Adam dan Hawa misalnya. Artinya, seksualitas itu ada bersamaan dengan adanya manusia, karena ia inheren dengan kebutuhan biologis maupun sosial manusia.

Muatan seksualitas dalam buku ini dibagi kepada dua kategori. Pertama yang berkaitan dengan hal teknis seksualitas misalnya onani-masturbasi, haidh, dan orientasi seksual. Kedua, seksualitas yang berkaitan dengan otonomi tubuh dan hak perempuan melalui bahasan mengenai ‘iddah, kesaksian, KB, kekerasan terhadap perempuan dan menyusui. Walaupun hampir semua argumentasi yang dipaparkan penulis mengarah pada periwayatan teks-teks Qur’an hadits, namun kekuatan buku ini tidak semata–mata terletak pada pemaparan itu, tetapi juga dari sisi penguatan dan pemilahan para penulis dalam menanggapi realitas perempuan pada khususnya dan realitas sosial pada umumnya.

Secara umum, buku ini memang tidak melakukan identifikasi baru dari problem-problem yang berkaitan dengan hukum fikih. Hanya saja ia merupakan sebuah kajian dari pembahasaan dan pengulasan kembali beberapa masalah yang dianggap krusial dan patriarkis. Dengan penuh  keberanian para penulis membongkar “tabu-tabu” tradisi agama yang kerap bersinggungan dengan modernitas sehingga buku ini cukup kuat untuk melawan mainstream yang yang bercorak patriarkis.

Beberapa tulisan yang cukup “menggigit” dan menarik untuk mengembangkan wawasan kritis misalnya tentang ‘iddah/ihdad’, dan seksualitas dalam Islam. Dalam persoalan-persoalan seperti ini, para penulis cukup berani mengkritik “distorsi” pemahaman agama  yang terjadi selama ini. Dalam iddah dan ihdad misalnya penulis [A.Moqsith] mengurai perdebatan fikih dalam konteks fikih “sebagai pemahaman kepada teks-teks” dengan fikih dalam konteks “sebagai pemahaman kepada realitas-realitas” [baca; kontekstual]. Untuk hal ini, sorotan penulis cukup tajam terhadap norma-norma fikih ‘iddah/ihdad’ dan kesimpulannya bahwa teks fikih klasik ternyata lebih menempatkan perempuan sebagai obyek perintah dan larangan; untuk tidak keluar rumah, tidak berhias, tidak memakai wewangian, tidak menggunakan pakaian yang baik dan tidak mencari pasangan. Padahal dalam teks al-Qur’an [sebagai rujukan utama] yaitu QS. 65:6, sebenarnya perintah ditujukan kepada laki-laki, yaitu perintah untuk menafkahi perempuan yang ditalak dan tidak mengeluarkannya dari rumah keluarga. Ironisnya, kebanyakan ulama fikih klasik telah “mengubah” perintah kepada laki-laki tersebut menjadi larangan kepada perempuan. Perintah agar laki-laki tidak mengeluarkan perempuan dari rumah keluarga, menjadi larangan kepada perempuan agar ndekem menunggu rumah, tanpa keluar ke tempat manapun. Kalau tidak melalui pendekatan dan paradigma yang sensitive gender, barangkali distorsi dan pembalikan-pembalikan seperti hal tersebut dalam teks-teks fikih klasik tidak akan terdeteksi dengan baik.

Sedangkan untuk perdebatan seputar seksualitas dalam Islam, keberanian penulis [Syafiq Hasyim] dalam menjabarkan historisitas dan distorsi pandangan-pandangan tentang seksualitas menjadikan tulisan ini menjadi cukup jernih dalam membawa pembaca memahami seksualitas itu sendiri. Baik dari konteks pemahaman seksualitas dalam realitas manusia sendiri maupun ketika dikaitkan dengan norma agama. Dalam hal ini penggiringan kepada proses dialog dengan realitas lagi-lagi menjadi dominan. Hal ini cukup membantu dalam membawa pembaca menganalisis lebih jernih, tanpa dikelabui stigma-stigma lama. Karena masalah seksualitas memang sudah mendapatkan stigma buruk sehingga ketika ada pembahasan tentang hal ini seringkali hanya melahirkan justifikasi. Namun, ternyata pembahasan yang dilakukan penulis tidak serta merta melahirkan justifikasi-justifikasi tersebut.

Buku ini juga memuat beberapa tulisan lainnya, seperti  kekerasan terhadap perempuan, haid, KB, menyusui dan kesaksian terhadap perempuan. Dari sisi tema dan penjabaran, masalah iddah dan seksualitas inilah yang biasanya banyak “memancing” reaksi masyarakat, bukan karena tema ini memang kontroversial, tetapi juga karena perlawanan terhadap arus mainstream sangat terlihat jelas dari refleksi dua tema tulisan tadi, yaitu Iddah dan seksualitas.

Semua tema yang dibahas dalam buku ini mengedepankan masalah-masalah dari realitas kekinian sehingga dapat dikatakan berhasil menguatkan paradigma kontektualisasi teks-teks agama. Karena sekali lagi fikih akhirnya hanya bisa dipahami sesuai dengan konteksnya masing-masing. Bukan dengan memulainya lewat dogma-dogma yang kering dari realitas dan kemudian dipakai untuk menjustifikasi realitas itu sendiri. Dengan berkaca pada realitas dan mendialogkannya kepada pemahaman agama yang ada, maka siapapun berhak — bahkan diharuskan — untuk menentukan norma-norma “fikih” dengan mendasarkan pada realitasnya sendiri. Sehingga dengan demikian adagium bahwa fikih [syari’at Islam] tepat untuk segala zaman [shalihah likulli zaman wa makan] menjadi benar, baik secara konseptual maupun praktikal (Daan-Faqih)

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here